
HARI Raya Idul Fitri sebentar lagi tiba. Dulu para Sahabat Nabi menangis
setiap kali bulan Ramadan memasuki detik-detik terakhir dan siap
meninggalkan mereka. Mereka merasa seakan-akan tamu agung yang telah
memberikan banyak kebaikan dan keberkahan akan segera pergi.
Mereka
khawatir tidak bisa bertemu kembali dengan bulan Ramadan berikutnya.
Sikap yang ditunjukkan para sahabat Nabi SAW dan kita sekarang ini jauh
berbeda. Kita justru berbahagia karena Ramadan akan segera berakhir dan
kita merasa sesuatu yang mengekang kebebasan kita akan segera pergi.
Kita
menyambut Hari Raya Idul Fitri seperti kita baru mengusir musuh yang
telah membelenggu. Pesta pora biasanya kita lakukan, menyiapkan makanan
paling enak, rumah dihias sedemikian rupa, pakaian baru, bila perlu
kendaraan juga baru.
Bahkan, demi menyambut kebahagiaan di Hari
Raya Idul Fitri, biasanya kita sudah menyiapkannya pada saat bulan
Ramadan memasuki masa-masa keemasannya, yaitu sepuluh hari terakhir.
Padahal pada saat itu Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk semakin
meningkatkan amal ibadah.
Kita malah menyibukkan diri dengan
urusan dunia dan melupakan fadhilah akhir Ramadan. Biasanya mulai
pertengahan Ramadan masjid dan surau yang pada awal Ramadan jamaahnya
penuh sesak baik pada salat isya tarawih maupun salat subuh, memasuki
hari-hari akhir Ramadan, keramaian berpindah ke mal-mal dan tempat
perbelanjaan lainnya.
Fenomena ini menandakan masih banyak di
antara kita yang belum memaknai Ramadan dengan keyakinan sepenuh hati.
Fadhilah Ramadan yang sudah didengung-dengungkan para dai sepertinya
dianggap sebagai kebiasaan rutin belaka.
Masih banyak di antara
kita yang tak acuh pada fadhail (keutamaan) bulan Ramadan, seperti sabda
Rasul bahwa Ibadah sunnah di bulan Ramadan dinilai seperti ibadah wajib
dan ibadah wajib pahalanya dilipatgandakan sampai 70 kali, apalagi di
akhir-akhir Ramadan Allah menjadikan satu malamnya sebagai malam lailtul
qadar.
Siapa yang mendapatkannya dan beribadah pada malam itu
maka nilainya lebih baik daripada ibadah selama seribu bulan. Tampaknya
masih banyak di antara kita yang masih kurang termotivasi sabda Rasul
tersebut, sehingga masih lebih senang mengejar kesenangan dunia.
Sebenarnya
bukan hal salah jika kita merayakan Idul Fitri sebagai hari kemenangan
tetapi dalam artian kemenangan kita setelah selama sebulan melakukan
puasa.
Kita patut berbahagia pada Hari Idul Fitri karena jika
puasa kita diterima oleh Allah SWT, maka kita ibarat bayi yang baru
lahir dari rahim ibu, tidak memiliki dosa sedikitpun (kayaumin waladathu
ummuhu). Kebahagiaan kita tentu saja harus dimanefestasikan dalam
bentuk-bentuk yang sudah diajarkan oleh syariat, yaitu dengan
bersilaturahmi dan bersedekah untuk membahagiakan orang lain.
Asal Wajar
Pesta
pora makanan enak di dalam keluarga selama dilakukan dalam tingkat
wajar, apalagi disedekahkan juga kepada para tetangga, boleh dilakukan
dengan niat ingin membahagiakan keluarga. Demikian juga pakaian bagus
yang diberikan kepada anak, istri, dan kerabat dekat merupakan ibadah
asal dilakukan dengan niat ingin membahagiakan mereka dan tidak untuk
menunjukkan kesombongan.
Di hari yang fitri kita boleh-boleh saja
mengekspresikan kebahagiaan kita bersama keluarga, para tetangga dan
relasi-relasi lainnya asal dilakukan dalam batas-batas kewajaran. Karena
Rasulullah SAW bersabda, “Bahwa sesungguhnya amal yang paling dicintai
Allah SWT setelah perkara yang wajib adalah memberikan kebahagiaan
kepada saudaramu yang muslim.”
Juga sabdanya, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya.”
Tetapi yang harus diingat bukan berarti dengan berakhirnya bulan Ramadan, usai sudah upaya kita dalam mengendalikan hawa nafsu.
Justru
pasca-Ramadan kita akan terjun ke lapangan mempraktikkan apa yang sudah
dilatih di bulan Ramadan. Karena pada dasarnya selama satu bulan penuh
di bulan Ramadan kita dilatih mengendalikan hawan nafsu, dengan harapan
pada bulan-bulan setelah Ramadan kita mampu mengendalikannya.
Kehidupan
pasca Ramadan merupakan hari-hari yang cukup berat karena biasanya
banyak orang yang membiarkan dirinya dikuasai hawa nafsunya. Kondisi
lingkungan seperti ini juga akan turut menstimulasi kita mengumbar hawa
nafsu.
Karena itu, kesadaran dan komitmen diri untuk istiqamah
pada pengendalian hawa nafsu akan menjadikan kita sukses mempraktikkan
apa-apa yang sudah dibiasakan dan diterapkan pada bulan Ramadan. “Dan
aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Yusuf: 53)
Sumber :
Sriwijaya Post